الضرائب والمكس في الشريعة الإسلامية
Hukum Pajak dan Maks dalam Syariat Islam (Bagian Pertama)
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Hukum Pajak dan Maks dalam Syariat Islam ini termasuk dalam Kategori Tanya Jawab
السؤال
Pertanyaan:
قال لي أحد الناس: الضرائب التي تأخذها منك الدولة مَكس محرمٌ شرعًا، فهل هي كما قال، أم أن هناك فرقًا بينهما؟
Seseorang berkata kepadaku: Pajak yang diambil oleh negara darimu adalah Maks yang haram secara syariat. Apakah benar demikian, atau ada perbedaan di antara keduanya?
الإجابــة
Jawaban:
الضريبة التي تفرضها الدولة حسب المصلحة وبقدر الحاجة للنهوض بالشعب في جميع الميادين لا علاقةَ لها بالمكس المحرَّم شرعًا؛ ذلك أنها تُفْرَض من أجل الحق وتصرف فيه، وتكون نظير خدمات والتزامات تقوم بها الدولة لصالح المجموع، بخلاف المكس الذي نهى عنه النبي صلى الله عليه وآله وسلم؛ فإنه يؤخذ بغير حق، وينفق في غير حق.
Pajak yang ditetapkan oleh negara berdasarkan kemaslahatan dan sesuai kebutuhan untuk membangun rakyat dalam berbagai bidang tidak ada hubungannya dengan Maks yang diharamkan syariat. Pajak itu ditetapkan demi suatu hak dan disalurkan pada tempatnya, serta sebagai imbalan atas layanan dan kewajiban yang dilakukan negara untuk kepentingan bersama. Berbeda dengan Maks yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu pungutan yang diambil tanpa hak dan dibelanjakan pada hal yang bukan haknya.
التفاصيل
Rincian
Konten pembahasan:
- Konsep Pajak
- Hikmah Penetapan Pajak
- Kewajiban Harta dalam Islam
- Konsep Maks
- Kesimpulan
مفهوم الضرائب
Konsep Pajak
الضرائب هي مقدارٌ محدَّدٌ من المال تفرضه الدولة في أموال المواطنين دون أن يقابل ذلك نفعٌ مخصوص، فتُفْرَض على المِلْك والعَمَل والدخْل نظير خدمات والتزامات تقوم بها الدولة لصالح المجموع، وهي تختلف باختلاف القوانين والأحوال. ينظر: “المعجم الوسيط” (١/ ٥٣٧، ط. دار الدعوة)، و”تاج العروس” للزبيدي (٣/ ٢٤٩، ط. دار الهداية).
Pajak adalah sejumlah tertentu dari harta yang diwajibkan oleh negara atas harta warga tanpa adanya manfaat khusus yang secara langsung diberikan sebagai imbalan. Pajak dipungut atas kepemilikan, pekerjaan, dan penghasilan sebagai balasan atas layanan dan kewajiban yang dilakukan negara untuk kepentingan umum. Besarnya pajak berbeda-beda sesuai dengan undang-undang dan kondisi. Lihat: al-Mu’jam al-Wasith (1/537, Dar al-Da’wah), dan Taj al-‘Arus karya al-Zubaidi (3/249, Dar al-Hidayah).
والذي يتدبَّر شريعة الإسلام يرى من مزاياها أن الأمور التي لا تختلف فيها المصلحة باختلاف الأوقات والبيئات والاعتبارات تنصُّ على الحكم فيها نصًّا قاطعًا لا مجالَ معه للاجتهاد والنظر؛ كتحليل البيع وتحريم الربا. أما الأمور التي تخضعُ فيها المصلحة للظروف والأحوال، فإن شريعة الإسلام تَكِلُ الحكمَ فيها إلى أربابِ النظر والاجتهاد والخبرة في إطار قواعدها العامة، ومن أمثلة ذلك: ما يفرضه وليُّ الأمر من ضرائبَ على الأغنياءِ في وقتٍ معينٍ ولظروفٍ معينةٍ، فإن هذا الفعل قابلٌ للإبقاء تارةً، وللإلغاء أو التعديل تارةً أخرى على حسب ما تستلزمه مصلحة الأمة.
Barangsiapa yang meneliti syariat Islam akan melihat bahwa salah satu keistimewaannya adalah: hal-hal yang kemaslahatannya tidak berubah dengan perbedaan waktu, tempat, dan pertimbangan, maka syariat menetapkan hukumnya secara tegas tanpa ruang ijtihad, seperti bolehnya jual beli dan haramnya riba. Adapun hal-hal yang kemaslahatannya bergantung pada situasi dan kondisi, maka syariat menyerahkan hukumnya kepada para ahli ijtihad dan pakar dalam bingkai kaidah-kaidah umum syariat. Contohnya adalah kewajiban yang ditetapkan oleh penguasa berupa pajak atas orang-orang kaya dalam waktu dan keadaan tertentu. Ketetapan ini bisa berlaku terus, atau dihapuskan, atau diubah sesuai dengan tuntutan maslahat umat.
الحكمة من فرض الضرائب
Hikmah Penetapan Pajak
الدولة لها ما يُسَمَّى بالموازنة العامة، والتي تجتمع فيها الإيرادات العامة والنفقات العامة، وإذا كانت النفقات العامة للدولة أكبرَ من الإيرادات العامة فإنَّ ذلك معناه عجز في ميزانية الدولة، يتعيَّنُ على الدولة تعويضُه بعِدَّةِ سُبل منها: فرض الضرائب. ينظر: “نحو رؤية لتشخيص وعلاج الموازنة العامة في مصر” للدكتور/ إيهاب محمد يونس، بحث منشور بمجلة النهضة الصادرة عن كلية الاقتصاد والعلوم السياسية، (المجلد الثالث عشر، العدد الثاني، إبريل ٢٠١٢م، ص: ٧)، إلَّا أنه ينبغي أن يُرَاعَى في فرْض الضرائبِ عدم زيادة أعباء محدودي الدخل وزيادة فقرهم، وأن توجه الضرائب إلى الفئات التي لا يجهدها ذلك كطبقة المستثمرين، ورجال الأعمال الذين يجب عليهم المساهمة في واجبهم تجاه شعبهم ووطنهم.
Negara memiliki apa yang disebut dengan anggaran umum, yaitu tempat berkumpulnya pendapatan dan pengeluaran negara. Jika pengeluaran negara lebih besar daripada pendapatannya, maka itu berarti terjadi defisit anggaran yang harus ditutupi dengan beberapa cara, di antaranya adalah dengan menetapkan pajak. Lihat: Nahwa Ru’yah li Tashkhis wa ‘Ilaj al-Muwazanah al-‘Ammah fi Mishr karya Dr. Ihab Muhammad Yunus, dimuat dalam Majalah al-Nahdah, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Politik, (Vol. XIII, No. 2, April 2012, hal. 7). Namun, dalam menetapkan pajak harus diperhatikan agar tidak menambah beban masyarakat berpenghasilan rendah dan memperparah kemiskinan mereka. Pajak hendaknya diarahkan kepada golongan yang mampu menanggungnya, seperti kalangan investor dan pengusaha, yang wajib berkontribusi dalam kewajiban mereka terhadap bangsa dan tanah airnya.
الحقوق المالية الواجبة في مال المسلم
Kewajiban Harta dalam Islam
من المقرَّر في الشريعة الغرَّاء أن الحقَّ الواجب في مال المسلم ليس قاصرًا على الزكاة المفروضة، ويدلُّ على ذلك قوله تعالى:
Dalam syariat Islam yang mulia, hak yang wajib atas harta seorang muslim tidak terbatas hanya pada zakat yang diwajibkan. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala:
﴿لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ﴾ [البقرة: ١٧٧]،
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan, orang-orang yang meminta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya; mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila berjanji, serta orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Surah al-Baqarah: 177)
فالآية قد جُمِعَ فيها بين إيتاء المال على حبه وبين إيتاء الزكاة بالعَطْفِ المقتضِي للمُغايرة، وهذا دليلٌ على أن في المال حقًّا سوى الزكاة لتصح المُغايرة.
Ayat ini menggabungkan antara pemberian harta karena cintanya kepada Allah dan penunaian zakat dengan menghubungkannya menggunakan kata penghubung yang mengisyaratkan adanya perbedaan. Ini menunjukkan bahwa dalam harta terdapat hak lain selain zakat agar perbedaan itu sah.
قال الفخر الرازي في “مفاتيح الغيب” (٥/ ٢١٦، ط. دار إحياء التراث العربي):
Al-Fakhr al-Razi berkata dalam Mafatih al-Ghaib (5/216, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi):
[اختلفوا في المراد من هذا الإيتاء؛ فقال قوم: إنها الزكاة. وهذا ضعيف؛ وذلك لأنه تعالى عطف الزكاة عليه بقوله: ﴿وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ﴾، ومن حق المعطوف والمعطوف عليه أن يتغايرا، فثبت أن المراد به غير الزكاة، ثم إنه لا يخلو إما أن يكون من التطوعات أو من الواجبات، لا جائز أن يكون من التطوعات؛ لأنه تعالى قال في آخر الآية: ﴿أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ﴾. وقف التقوى عليه، ولو كان ذلك ندبًا لما وقف التقوى عليه، فثبت أن هذا الإيتاء وإن كان غير الزكاة إلا أنه من الواجبات] اهـ.
“Para ulama berbeda pendapat tentang makna pemberian harta dalam ayat ini. Sebagian mengatakan: itu adalah zakat. Namun pendapat ini lemah, sebab Allah telah mengaitkan zakat setelahnya dengan firman-Nya: ‘…mendirikan shalat dan menunaikan zakat…’. Antara ma’thuf (yang dihubungkan) dan ma’thuf ‘alaih (yang dihubungi) harus berbeda. Maka jelaslah bahwa yang dimaksud bukan zakat. Pemberian ini tidak lepas dari dua hal: apakah ia termasuk amal sunnah atau kewajiban. Tidak mungkin ia termasuk sunnah, karena Allah menutup ayat ini dengan firman-Nya: ‘Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.’. Allah menjadikan sifat takwa bergantung padanya. Seandainya hal itu hanya anjuran (sunnah), niscaya sifat takwa tidak digantungkan kepadanya. Maka jelaslah bahwa pemberian harta ini, meskipun bukan zakat, tetap termasuk kewajiban.”
وقال الإمام ابن حزم في “المحلى بالآثار” (٤/ ٢٨١، ط. دار الفكر):
Imam Ibn Hazm berkata dalam al-Muhalla bil-Atsar (4/281, Dar al-Fikr):
[وفُرِض على الأغنياء من أهل كل بلد أن يقوموا بفقرائهم، ويُجبرهم السلطان على ذلك إن لم تقم الزكوات بهم] اهـ.
“Diwajibkan atas orang-orang kaya di setiap negeri untuk menanggung orang-orang fakir di negeri mereka. Jika zakat tidak mencukupi, maka penguasa berhak memaksa mereka untuk melakukannya.”
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : Daar Al Ifta
Leave a Reply