Hukum Pajak dan Maks (3)



الضرائب والمكس في الشريعة الإسلامية

Hukum Pajak dan Maks dalam Syariat Islam (Bagian Ketiga)

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Artikel Hukum Pajak dan Maks dalam Syariat Islam ini termasuk dalam Kategori Tanya Jawab

وكذلك فإن من القواعدِ الفقهية الكلية المقرَّرة عند العلماء: أنه “يُتَحَمَّلُ الضرر الخاص لدفع الضرر العام”، وأنه “يجب تحمُّل الضرر الأدنى لدفع ضرر أعلى وأشدَّ”، ولا ريبَ أن هذه القواعد الفقهية لا يؤدي إعمالُها إلى إباحة الضرائبِ فحسب، بل يُحتم فَرْضها وأخْذها تحقيقًا لمصالح الأمة والدولة، ودرءًا للمفاسدِ والأضرار والأخطار عنها. يقول الإمام ابن حزم في “المحلى” (4/ 281):

Demikian pula, di antara kaidah-kaidah fiqih kulliyah (umum) yang telah disepakati para ulama adalah: “Menanggung bahaya yang lebih kecil untuk menolak bahaya yang lebih besar.” dan “Wajib menanggung kerugian yang lebih ringan untuk menghindari kerugian yang lebih berat.”. Tidak diragukan bahwa penerapan kaidah-kaidah fiqih ini tidak hanya membolehkan adanya pajak, bahkan mewajibkan penetapan dan pemungutannya demi kemaslahatan umat dan negara, serta untuk menolak kerusakan, bahaya, dan ancaman darinya. Imam Ibn Hazm dalam al-Muhalla (4/281) berkata:

[وفَرْضٌ على الأغنياء من أهل كل بلد أن يقوموا بفقرائهم، ويُجْبِرهم السلطان على ذلك إن لم تقم الزكوات بهم] اهـ.

“Wajib atas orang-orang kaya di setiap negeri untuk menanggung orang-orang fakir mereka, dan penguasa berhak memaksa mereka jika zakat tidak mencukupi kebutuhan.”

ومن القواعدِ المقررة أيضًا: أَنَّ “الضرورة تُقَدَّر بقدرها”، فيجب ألا يتجاوز بالضرورة القدر الضروري، وأن يُرَاعَى في وضعها وطُرُق تحصيلها ما يُخَفِّف وقعها على الأفراد، وهو مَرْعَيٌّ الآن حيث لا تحتسب الضرائب إلا بناءً على دراسات وأبحاث وإحصاءات تَضْمَن تطبيق القاعدة السابقة.

Termasuk kaidah yang juga telah ditetapkan adalah: “Keadaan darurat diukur sesuai kadarnya.”. Maka tidak boleh keadaan darurat itu dilampaui melebihi batas kebutuhan. Dalam penetapan pajak dan cara pemungutannya harus diperhatikan hal-hal yang meringankan beban masyarakat. Hal ini pun kini diterapkan, di mana pajak tidak dihitung kecuali berdasarkan kajian, penelitian, dan statistik yang memastikan terlaksananya kaidah tersebut.

وقد أقرَّ جماعة من فقهاء المذاهبِ المتبوعة الضرائبَ، لكنهم لم يطلقوا عليها اسم الضرائب؛ فسمَّاها بعضُ الحنفية النوائب (جمع نائبة)، وهي اسم لما ينوب الفرد من جهة السلطان، بحق أو بباطل؛ قال العلامة ابن عابدين الحنفي في “رد المحتار على الدر المختار” (5/ 330، ط. دار الفكر) في بيان معنى النوائب:

Sekelompok ulama dari madzhab-madzhab fiqih yang diikuti juga membenarkan adanya pajak, hanya saja mereka tidak menamakannya dengan istilah pajak. Sebagian ulama Hanafiyah menyebutnya dengan an-Nawa’ib (jamak dari Naa’ibah), yaitu sesuatu yang dibebankan kepada seseorang oleh penguasa, baik dengan hak maupun tanpa hak. Al-‘Allamah Ibn ‘Abidin al-Hanafi dalam Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar (5/330, Dar al-Fikr) menjelaskan makna nawa’ib:

(ما يكون بحقٍّ: كأجرة الحراس، وَكَرْيِ النهر المشترك، والمال الموظف لتجهيز الجيش، وفداء الأسرى إذا لم يكن في بيت المال شيء، وغيرهما مما هو بحق، فالكفالة به جائزة بالاتفاق؛ لأنها واجبة على كل مسلمٍ مُوسِر بإيجاب طاعة ولي الأمر فيما فيه مصلحة المسلمين ولم يلزم بيت المال، أو لزمه ولا شيء فيه. وإن أريد بها ما ليس بحقٍّ: كالجبايات الموظفة على الناس في زماننا ببلاد فارس على الخيَّاط والصَّبَّاغ وغيرهم للسلطان في كل يوم أو شهر، فإنها ظلم] اهـ.

“Apabila yang dimaksud dengan hak, seperti upah penjaga, biaya perbaikan saluran air bersama, dana yang ditetapkan untuk mempersiapkan pasukan, atau menebus tawanan apabila Baitul Mal tidak memiliki dana, dan selainnya dari hal-hal yang memang hak, maka menanggungnya hukumnya boleh menurut kesepakatan. Karena itu wajib atas setiap muslim yang mampu, sebagai bagian dari ketaatan kepada waliyyul amri dalam hal yang mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin, terlebih jika Baitul Mal tidak mampu menanggungnya. Adapun jika yang dimaksud bukan hak, seperti pungutan yang dipaksakan atas orang-orang di zaman kita di negeri Persia atas para penjahit, tukang celup, dan selain mereka, yang harus dibayarkan kepada penguasa setiap hari atau bulan, maka itu adalah kezhaliman.”

وقد نقل العلامة ابن عابدين أيضًا (2/ 336-337) عن أبي جعفر البلخي قوله:

Al-‘Allamah Ibn ‘Abidin juga menukil (2/336–337) dari Abu Ja’far al-Balkhi perkataannya:

[ما يَضْرِبُه السلطانُ على الرعية مصلحةً لهم يصير دَيْنًا واجبًا وحقًّا مُستحقًّا كالخراج، وقال مشايخنا: وكل ما يضربه الإمام عليهم لمصلحة لهم فالجواب هكذا، حتى أجرة الحرَّاسين لحفظ الطريق واللصوص -أي: ما يُحتاج من نفقات لحفظ الطريق وأمنه وحراسته-، ونصب الدروب، وأبواب السكك، وهذا يُعْرَف ولا يُعْرَف خوف الفتنة، ثم قال: فعلى هذا ما يؤخذ في خوارزم من العامة لإصلاح مسناة الجيحون أو الربض ونحوه من مصالح العامة دَيْنٌ واجبٌ لا يجوز الامتناع عنه وليس بظلم، ولكن يعلم هذا الجواب للعمل به وكف اللسان عن السلطان وسُعَاتِهِ فيه لا للتشهير، حتى لا يتجاسروا في الزيادة على القدر المستحق] اهـ.

“Apa saja yang ditetapkan penguasa atas rakyatnya demi kemaslahatan mereka, maka hal itu menjadi hutang yang wajib dan hak yang harus ditunaikan, seperti kharaj. Para masyayikh kami juga berkata: setiap pungutan yang ditetapkan imam atas rakyat demi kemaslahatan mereka, maka hukumnya demikian, termasuk biaya untuk penjaga jalan demi keamanan dari perampok —yakni kebutuhan untuk menjaga dan mengamankan jalan—, pembuatan pos-pos penjagaan, serta pintu-pintu gang. Semua ini sudah dikenal manfaatnya dan tidak perlu dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Atas dasar ini, apa yang dipungut dari masyarakat di Khawarizm untuk memperbaiki tanggul sungai Jaihun atau benteng kota dan sejenisnya demi kepentingan umum adalah hutang yang wajib, tidak boleh ditolak, dan bukan kezhaliman. Akan tetapi, jawaban ini diketahui untuk diamalkan dan agar menahan lisan dari mencela penguasa dan para petugasnya, bukan untuk disiarkan, agar mereka tidak berani menambah pungutan melebihi kadar yang semestinya.”

ومِن المالكية يقول الإمام الشاطبي في “الاعتصام” (2/ 619، ط. دار ابن عفان):

Dari kalangan Malikiyah, Imam asy-Syathibi dalam al-I’tisham (2/619, Dar Ibn ‘Affan) berkata:

[إنا إذا قدرنا إمامًا مطاعًا مُفتقِرًا إلى تكثير الجنود لسدِّ الثغور، وحماية المُلك المتسع الأقطار، وخلا بيت المال عن المال، وارتفعت حاجات الجند إلى ما لا يكفيهم، فللإمام إذا كان عدلًا أن يوظف على الأغنياء ما يراه كافيًا لهم في الحال، إلى أن يظهر مال في بيت المال.. وإنما لم يُنْقَل مثل هذا عن الأولين لاتساع مال بيت المال في زمانهم بخلاف زماننا، فإن القضية فيه أحرى، ووجه المصلحة هنا ظاهر؛ فإنه لو لم يفعل الإمام ذلك لانْحلَّ النظام، وبطلت شوكة الإمام، وصارت ديارُنا عرضةً لاستيلاء الكفار] اهـ.

“Seandainya kita mengandaikan seorang imam yang ditaati, sedang membutuhkan tambahan jumlah pasukan untuk menjaga perbatasan dan melindungi wilayah kekuasaan yang sangat luas, sementara Baitul Mal kosong dari harta, dan kebutuhan pasukan meningkat hingga tidak tercukupi, maka bagi imam yang adil boleh membebankan kepada orang-orang kaya sesuai kadar yang mencukupi mereka saat itu, hingga harta masuk ke dalam Baitul Mal. Tidak diriwayatkan hal seperti ini dari generasi pertama karena melimpahnya harta Baitul Mal pada zaman mereka, berbeda dengan zaman kita. Maka keadaan ini lebih layak dilakukan, dan sisi maslahatnya jelas: sebab jika imam tidak melakukan hal itu, niscaya sistem akan runtuh, kekuatan imam akan hilang, dan negeri kita akan menjadi sasaran penyerangan orang-orang kafir.”

ومن الشافعية يقول الإمام الغزالي في “المستصفى” (ص: 177، ط. دار الكتب العلمية):

Dari kalangan Syafi’iyah, Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa (hlm. 177, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah) berkata:

[إذا خلت الأيدي من الأموال، ولم يكن من مال المصالح ما يفي بخراجات العسكر، ولو تفرَّق العسكر واشتغلوا بالكسب لخِيفَ دخولُ الكفار بلاد الإسلام، أو خِيف ثوران الفتنة من أهل العَرامة -أي: أهل الفساد- في بلاد الإسلام، فيجوز للإمام أن يوظف على الأغنياء مقدار كفاية الجند] اهـ.

“Apabila tangan-tangan kosong dari harta, dan tidak ada harta maslahat yang cukup untuk menutupi kebutuhan pasukan, sementara jika pasukan bubar dan sibuk mencari penghidupan sendiri dikhawatirkan orang-orang kafir akan masuk ke negeri Islam, atau dikhawatirkan muncul fitnah dari kalangan perusuh di negeri Islam, maka boleh bagi imam membebankan kepada orang-orang kaya sejumlah yang mencukupi kebutuhan pasukan.”

Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah

Sumber : Daar Al Ifta

 

kewajiban harta | zakat dan kewajiban lain | hak harta muslim | fakir miskin | ibn hazm

pajak islam | hukum pajak | Maks dalam islam | perbedaan pajak dan Maks | kewajiban harta muslim



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.