
مذاهب العلماء في الحامل والمرضع إذا أفطرتا
Aqwal Ulama Tentang Wanita Hamil dan Menyusui Tidak Puasa
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Aqwal Ulama Tentang Wanita Hamil dan Menyusui Tidak Puasa ini masuk dalam Kategori Tanya Jawab
السؤال
Pertanyaan:
هل يجوز لامرأة في بداية حملها أن تفطر خشية على الجنين وإذا أفطرت هل عليها القضاء أو فدية إطعام مسكين أفيدونا ؟
Apakah boleh bagi seorang wanita yang sedang dalam awal kehamilan untuk tidak berpuasa karena khawatir terhadap janinnya? Dan jika ia tidak berpuasa, apakah wajib baginya mengganti puasa atau membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin? Mohon berikan penjelasan kepada kami.
الإجابــة
Jawaban:
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه، أما بعد:
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabat beliau, amma ba’du:
فاعلم أولاً أن الحامل والمرضع لا يجوزُ لهما الفطر إلا إذا خافا ضرراً على نفسيهما أو على ولديهما، فإذا تحقق خوف الضرر إما بالتجربة وإما بإخبار طبيبٍ ثقة جاز الفطر،
Ketahuilah terlebih dahulu bahwa wanita hamil dan menyusui tidak diperbolehkan berbuka (tidak berpuasa) kecuali jika keduanya khawatir akan adanya bahaya terhadap diri mereka atau terhadap anak mereka. Jika rasa khawatir akan bahaya itu terbukti, baik berdasarkan pengalaman atau berdasarkan informasi dari dokter yang terpercaya, maka dibolehkan untuk berbuka (tidak berpuasa).
واختلف العلماء في الواجب عليهما إذا أفطرتا، فصح عن ابن عباسٍ وابن عمر أنهما أمرا بالفدية دون القضاء، بل جعل ابن عباسٍ الحامل والمرضع إذا خافتا على نفسيهما أو على ولديهما ممن عُني بقوله تعالى: وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ {البقرة: 184}
Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban atas keduanya (wanita hamil dan menyusui) apabila keduanya berbuka (tidak berpuasa). Telah shahih dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa keduanya memerintahkan untuk membayar fidyah tanpa harus mengganti puasa. Bahkan Ibnu Abbas menjadikan wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap diri mereka atau anak mereka termasuk dalam firman Allah Ta’ala: “Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya (puasa) wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
ووجهه من النظر إلحاقهما بالمريض الذي لا يُرجى برؤه لتكرر الحمل والرضاع،
Dasar pendapat ini dalam tinjauan adalah menyamakan keduanya dengan orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, karena kehamilan dan menyusui bisa berulang terus-menerus.
وذهب الأئمةُ الأربعة إلى وجوبِ القضاء عليها؛ لقوله تعالى: أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ {البقرة: 184}
Namun, imam yang empat (madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat wajib bagi keduanya untuk mengganti puasa, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “(Puasa itu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)
قالوا: وهي بالمريض الذي يُرجى برؤه أشبه فوجب عليها القضاء إذا قدرت عليه،
Mereka berkata: Wanita hamil dan menyusui lebih mirip dengan orang sakit yang diharapkan kesembuhannya, sehingga wajib bagi keduanya mengganti puasa jika mampu melakukannya.
وزاد الشافعي وأحمد إيجاب الإطعام وقدره عند الحنابلة مدٌ من بر ونصف صاع من غيره، وأما عند الشافعية فقدره مدٌّ مطلقا، يُدفع إلى مسكين عن كل يومٍ تفطره إذا كان الفطر لأجل الخوف على الجنين،
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bahkan menambahkan kewajiban membayar fidyah. Menurut madzhab Hanbali, ukurannya adalah satu mud gandum atau setengah sha’ selain gandum. Adapun menurut madzhab Syafi’i, ukurannya adalah satu mud secara mutlak, diberikan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan puasanya jika tidak berpuasa itu karena khawatir terhadap janin.
وهذا القول هو أحوط الأقوال وأبرؤها للذمة، والأقيس القول الثاني، والقول الأول أقرب للآثار.
Pendapat ini (wajib qadha dan fidyah) adalah pendapat yang paling hati-hati dan paling aman untuk tanggungan (beban kewajiban). Pendapat kedua (wajib qadha saja) lebih sesuai dengan qiyas, sedangkan pendapat pertama (hanya fidyah saja tanpa qadha) lebih dekat kepada atsar (riwayat).
وحمل الجمهور من الشافعية والحنابلة هذه الآثار التي وجب فيها الإطعام على أنه يجبُ إضافةً إلى القضاء،
Mayoritas ulama dari madzhab Syafi’i dan Hanbali membawa atsar-atsar yang mewajibkan fidyah tersebut sebagai kewajiban tambahan di samping kewajiban mengganti puasa (qadha).
وقد استوعب الموفق في المغني أقوال الفقهاء في المسألة وقرر المذهب تقريراً حسناً وذكر وجوه الأقوال وحججها، وانتصر لوجوب القضاء والإطعام إذا كان الفطر لأجل الخوف على الولد،
Al-Muwaffaq dalam kitab Al-Mughni telah mengumpulkan seluruh pendapat para ulama dalam permasalahan ini, dan beliau telah menjelaskan pendapat madzhab dengan penjelasan yang sangat baik. Beliau menyebutkan berbagai pendapat dan dalil-dalilnya, serta beliau lebih cenderung kepada kewajiban mengganti puasa (qadha) dan juga membayar fidyah jika tidak berpuasa itu disebabkan oleh kekhawatiran terhadap anak (janin).
ونحنُ نسوقُ كلامه بطوله لتتم الفائدة: «وجُمْلَةُ ذلك أن الحَامِلَ والمُرْضِعَ، إذا خَافَتَا على أنْفُسِهما، فلهما الفِطْرُ وعليهما القَضاءُ فحَسْبُ. لا نَعْلَمُ فيه بينَ أهْلِ العِلْمِ اخْتِلافًا؛ لأنَّهما بِمَنْزِلَةِ المَرِيضِ الخائِفِ على نَفْسِه.
Dan kami akan menyampaikan ucapan beliau secara lengkap agar faidahnya sempurna: “Kesimpulan dari hal ini adalah bahwa wanita hamil dan menyusui, jika keduanya khawatir terhadap diri mereka sendiri, maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka (tidak berpuasa), dan wajib atas keduanya untuk mengganti puasa saja. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hal ini, karena keduanya berada pada posisi orang sakit yang khawatir terhadap dirinya.”
وإن خَافَتَا على وَلَدَيْهما أفْطَرَتَا، وعليهما القَضاءُ وإطْعَامُ مِسْكِينٍ عن كلِّ يَوْمٍ.
Dan jika keduanya (wanita hamil dan menyusui) khawatir terhadap anak mereka, maka keduanya boleh berbuka (tidak berpuasa), dan wajib atas keduanya untuk mengganti puasa (qadha) dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang mereka tidak berpuasa.
وهذا يُرْوَى عن ابْنِ عمرَ. وهو المشهورُ من مذهبِ الشَّافِعِىِّ.
Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Umar dan merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i.
وقال اللَّيْثُ: الكَفَّارَةُ على المُرْضِعِ دون الحَامِلِ. وهو إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عن مالِكٍ،
Al-Laits berkata: Kewajiban membayar fidyah hanya atas wanita menyusui, bukan wanita hamil. Ini adalah salah satu dari dua riwayat dari Imam Malik.
لأنَّ المُرْضِعَ يُمْكِنُها أن تَسْتَرْضِعَ لِوَلَدِها، بِخِلافِ الحامِلِ، ولأنَّ الحَمْلَ مُتَّصِلٌ بالحَامِلِ، فالخَوْفُ عليه كالخَوْفِ على بعضِ أعْضائِها.
Karena wanita menyusui masih memungkinkan untuk menyusukan anaknya kepada wanita lain, berbeda halnya dengan wanita hamil, karena janin menyatu dengan tubuhnya, maka rasa khawatir terhadap janin itu seperti rasa khawatir terhadap salah satu anggota tubuhnya.
وقال عَطاءٌ، والزُّهْرِىُّ، والحسنُ، وسَعِيدُ بن جُبَيْرٍ، والنَّخَعِىُّ، وأبو حنيفةَ: لا كَفَّارَةَ عليهما؛
Atha’, Az-Zuhri, Al-Hasan, Sa’id bin Jubair, An-Nakha’i, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban membayar fidyah atas keduanya (wanita hamil dan menyusui).
لما رَوَى أَنَسُ بنُ مَالِكٍ هو رَجُلٌ [من بَنِى كَعْبٍ]، عن النَّبِىِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، أنَّه قال: “إنَّ اللهَ وَضَعَ عَنِ المُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ، وعن الحَامِلِ والمُرْضِعِ الصَّوْمَ -أو- الصِّيَامَ”
Karena Anas bin Malik —seorang lelaki dari Bani Ka’ab— meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah meringankan bagi musafir separuh shalatnya, dan bagi wanita hamil serta menyusui (keringanan) untuk tidak berpuasa.”
واللهِ لقد قالَهما رسولُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أحَدَهما أو كِلَيْهِما. رَوَاهُ النَّسَائِىُّ، والتِّرْمِذِىُّ. وقال: هذا حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Demi Allah, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengucapkan salah satunya atau keduanya. Hadits ini diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan.
ولم يَأْمُرْ بِكَفَّارَةٍ، ولأنَّه فِطْرٌ أُبِيحَ لِعُذْرٍ، فلم يَجِبْ به كَفَّارَةٌ، كالفِطْرِ لِلْمَرَضِ.
Dan dalam hadits tersebut tidak ada perintah untuk membayar fidyah. Karena ini adalah berbuka puasa yang dibolehkan karena udzur (halangan), maka tidak wajib membayar fidyah, sebagaimana berbuka karena sakit.
ولَنا، قولُ اللهِ تعالى: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ}. وهما دَاخِلَتَانِ فى عُمُومِ الآية.
Sedangkan dalil bagi kami adalah firman Allah Ta’ala: “Dan atas orang-orang yang berat menjalankannya (puasa) wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184). Dan keduanya (wanita hamil dan menyusui) termasuk dalam keumuman ayat ini.
قال ابنُ عَبَّاسٍ: كانتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الكَبِيرِ، والمَرْأةِ الكَبِيرَةِ، وهما يُطِيقانِ الصيامَ، أن يُفْطِرَا، ويُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، والحُبْلَى والمُرْضِعُ إذا خافَتَا على أوْلَادِهِما، أفْطَرَتَا، وأَطْعَمَتَا. رَوَاهُ أبو دَاوُدَ.
Ibnu Abbas berkata: “Ini adalah keringanan bagi orang tua laki-laki dan perempuan yang masih mampu berpuasa, namun keduanya boleh berbuka dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Dan wanita hamil serta menyusui jika khawatir terhadap anak mereka, maka boleh berbuka dan memberi makan.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
وَرُوِىَ ذلك عن ابنِ عمرَ، ولا مُخَالِفَ لهما في الصَّحابَةِ،
Dan diriwayatkan juga hal ini dari Ibnu Umar, dan tidak ada sahabat yang menyelisihi keduanya dalam hal ini.
ولأنَّه فِطْرٌ بِسَبَبِ نَفْسٍ عاجِزَةٍ عن طَرِيقِ الخِلْقَةِ، فوَجَبَتْ به الكَفَّارَةُ، كَالشَّيْخِ الهِمِّ،
Dan karena berbuka puasa ini disebabkan oleh diri yang lemah secara alami, maka wajib atasnya membayar fidyah, sebagaimana orang tua renta yang sudah sangat lemah (yang tidak mampu berpuasa).
وخَبَرُهمْ لم يَتَعَرَّضْ لِلْكَفَّارَةِ، فكانتْ مَوْقُوفَةً على الدَّلِيلِ، كالقَضاءِ، فإنَّ الحَدِيثَ لم يَتَعَرَّضْ له،
Dan riwayat mereka (yang tidak mewajibkan fidyah) tidak menyebutkan tentang fidyah, maka masalah ini tetap bergantung kepada dalil, sebagaimana halnya kewajiban qadha, karena hadits tersebut juga tidak menyebutkan tentang qadha.
والمَرِيضُ أخَفُّ حالًا من هاتَيْنِ؛ لأنَّه يُفْطِرُ بِسَبَبِ نَفْسِه.
Dan kondisi orang sakit lebih ringan dibandingkan keduanya (wanita hamil dan menyusui), karena ia berbuka puasa disebabkan oleh dirinya sendiri.
إذا ثَبَتَ هذا، فإنَّ الوَاجِبَ في إطْعَامِ المِسْكِينِ مُدُّ بُرٍّ، أو نِصْفُ صاعٍ من تَمْرٍ، أو شَعِيرٍ. والخِلافُ فيه، كالخِلافِ في إطْعامِ المَساكِينِ في كَفَّارَةِ الجِماعِ.
Jika hal ini telah ditetapkan, maka yang wajib dalam memberi makan orang miskin adalah satu mud gandum, atau setengah sha’ kurma, atau jelai. Perbedaan pendapat dalam hal ini serupa dengan perbedaan dalam memberi makan fakir miskin pada kafarat jima’ (hubungan suami istri saat puasa).
إذا ثَبَتَ هذا، فإنَّ القَضاءَ لازِمٌ لهما. وقال ابنُ عمرَ، وابنُ عَبَّاسٍ: لا قَضَاءَ عَليهما؛ لأنَّ الآيةَ تَنَاوَلَتْهُما، وليس فيها إلَّا الإِطْعَامُ، ولأنَّ النبيَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قال: “إنَّ اللهَ وَضَعَ عَنِ الْحَامِلِ والمُرْضِعِ الصَّوْمَ”.
Jika hal ini telah ditetapkan, maka mengganti puasa (qadha) adalah kewajiban atas keduanya. Namun Ibnu Umar dan Ibnu Abbas berpendapat bahwa tidak wajib qadha atas keduanya, karena ayat tersebut mencakup keduanya dan tidak menyebutkan kecuali kewajiban memberi makan. Juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui.”
ولَنا، أنَّهما يُطِيقَانِ القَضاءَ، فَلَزِمَهُما، كالحائِضِ والنُّفَساءِ، والآيةُ أوْجَبَتِ الإطْعامَ، ولم تَتَعَرَّضْ لِلْقَضاءِ، فأخَذْنَاهُ من دَلِيلٍ آخَرَ.
Namun dalil bagi kami adalah bahwa keduanya masih mampu untuk mengganti puasa, maka wajib atas mereka melakukannya, sebagaimana wanita haid dan nifas. Ayat tersebut hanya mewajibkan fidyah (memberi makan), tidak menyebutkan qadha, sehingga kami mengambil kewajiban qadha dari dalil lain.
والمُرَادُ بِوَضْعِ الصَّوْمِ وَضْعُهُ في مُدَّةِ عُذْرِهما، كما جاءَ في حَدِيثِ عَمْرِو بن أُمَيَّةَ، عن النَّبِىِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: “إنَّ اللَّه وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ”.
Dan yang dimaksud dengan gugurnya kewajiban puasa adalah gugur selama masa udzurnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Amru bin Umayyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah telah menggugurkan puasa bagi musafir.”
ولا يُشْبِهَانِ الشَّيْخَ الهِمَّ، لأنَّه عاجِزٌ عن القَضاءِ، وهما يَقْدِرَانِ عليه.
Keduanya tidak dapat disamakan dengan orang tua renta yang lemah, karena orang tua tersebut tidak mampu melakukan qadha, sementara wanita hamil dan menyusui masih mampu melakukannya.
قال أحمدُ: أذْهَبُ إلى حَدِيثِ أبى هُرَيْرَةَ. يعنى ولا أقولُ بِقَوْلِ ابنِ عَبَّاسٍ وابنِ عمرَ في مَنْعِ القَضاءِ.» انتهى.
Imam Ahmad berkata: “Saya lebih cenderung kepada hadits Abu Hurairah — maksudnya beliau tidak berpendapat sebagaimana pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang tidak mewajibkan qadha.” — Selesai.
والله أعلم.
Sumber : IslamWeb
Leave a Reply