شبهات المستشرقين حول السنة النبوية القائلين بها، أدلتهم، تفنيدها. دراسة نقدية
Syubhat Orientalis terhadap Sunnah Nabi : Argumen Pendukung Mereka, Dalil-Dalil Mereka, dan Penolakannya. (Sebuah Studi Kritis) [Bagian Keempat]
Peneliti: Sami Manshur Muhammad Saif
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Makalah Syubhat Orientalis terhadap Sunnah Nabi masuk dalam Kategori Ilmu Hadits
نعم إنهم أقوام لم يحابوا في حكمهم على الرجال أحدًا، لا آباء، ولا أبناء، ولا إخوة، ولا أصدقاء، إن ذلك لثمرة صدق ديانتهم، ولزومهم، وأمانتهم، وعنوان إجلال الحفاظ للسنة النبوية الشريفة، وأما عندهم أعلى من الآباء، والأجداد، والأولاد، والأحفاد، فكانوا مضرب المثل في الصدق والتقوى والأمانة.
Benar, mereka adalah kaum yang tidak menunjukkan keberpihakan sedikit pun dalam menilai para perawi hadits—tidak kepada ayah mereka, tidak kepada anak-anak mereka, tidak kepada saudara mereka, dan tidak pula kepada sahabat mereka. Hal ini adalah buah dari kejujuran agama mereka, konsistensi mereka, dan amanah yang mereka junjung tinggi. Mereka adalah simbol penghormatan luar biasa terhadap sunnah Nabi yang mulia. Bahkan, bagi mereka, menjaga sunnah lebih tinggi nilainya daripada orang tua, kakek-nenek, anak, maupun cucu. Mereka menjadi teladan dalam kejujuran, ketakwaan, dan amanah.
أمثلة على لزومهم في حكمهم على الرجال:
Contoh Konsistensi Mereka dalam Menilai Para Perawi Hadits:
١. الجرحُ لآبائهم: الإمام علي بن المديني سئل عن أبيه فقال: “سلوا عنه غيري”، فأعادوا المسألة، فأطرق ثم رفع رأسه فقال: “هو الدين، إنه ضعيف”.
Memberikan catatan cacat terkait ayah mereka: Imam Ali bin al-Madini pernah ditanya tentang ayahnya. Ia menjawab, “Tanyalah selain aku.” Mereka mengulang pertanyaan itu, maka beliau menundukkan kepala, lalu mengangkatnya dan berkata, “Ini perkara agama. Dia (ayahku) lemah.”
٢. الجرحُ لأبنائهم: الإمام أبو داود السجستاني “صاحب السنن” قال: “ابني عبد الله كذّاب”، ويوجه قول الذهبي في ولده أبي هريرة: “إنه حفظ القرآن، ثم تشاغل عنه حتى نسيه”.
Memberikan catatan cacat terkait anak mereka: Imam Abu Dawud as-Sijistani, penulis kitab Sunan Abu Dawud, berkata: “Anakku Abdullah adalah pendusta.” Al-Dzahabi juga menyebutkan tentang anak Abu Hurairah: “Ia dulu hafal Al-Qur’an, lalu sibuk dengan hal lain hingga ia melupakannya.”
٣. الجرحُ لإخوانهم: زيد بن أبي أنيسة قال: “لا تأخذوا عن أخي يحيى المذكور بالكذب”.
Memberikan catatan cacat terkait saudara mereka: Zaid bin Abi Unaisah berkata, “Jangan kalian mengambil riwayat dari saudaraku Yahya, karena ia dikenal berdusta.”
وبلغ من نزاهة أئمة الحديث أنهم كانوا لا يقبلون شفاعة إخوانهم للسّكوت عمن يرون جرحه، وكيف يرضَون تلك الوساطة وهم الذين طعنوا في آبائهم وأبنائهم وإخوانهم لما رأوا منهم ما يستوجب القدح.
Tingkat integritas para imam hadits sangat tinggi, sampai-sampai mereka tidak menerima pembelaan saudara mereka sendiri untuk diam terhadap seseorang yang telah mereka nilai cacat. Bagaimana mereka akan menerima perantara atau syafaat, padahal mereka sendiri telah mencacat ayah, anak, dan saudara mereka demi menjaga amanah ilmiah ketika memang ditemukan sebab yang mewajibkan celaan.
أما عن موقف الصحابة والتابعين، فمن بعدهم من أئمة الإسلام من ملوكهم وأمرائهم، فالنماذج الدالّة على ذلك كثيرة، منها على سبيل المثال لا الحصر: موقف أبي سعيد الخدري من مروان والي المدينة، وموقف ابن عمر من الحجاج، وموقف الإمام الزهري من هشام بن عبد الملك الأموي، وغيرهم كثير.(1)
Adapun sikap para sahabat dan tabi’in serta para imam Islam setelah mereka terhadap para raja dan pemimpin mereka, maka terdapat banyak contoh yang menunjukkan integritas mereka. Di antaranya — dan ini hanya sebagian contoh — adalah sikap Abu Sa’id al-Khudri terhadap Marwan, gubernur Madinah; sikap Ibnu Umar terhadap al-Hajjaj; dan sikap Imam az-Zuhri terhadap Hisyam bin Abdul Malik al-Umawi. Masih banyak contoh lainnya 1
الشبهة الثانية:
Syubhat Kedua:
زعمهم بأن السنة النبوية الشريفة لم تُدون إلا بعد قرن أو قرنين من وفاة الرسول ﷺ
Mereka mengklaim bahwa sunnah Nabi yang mulia baru ditulis setelah satu atau dua abad dari wafatnya Rasulullah ﷺ.
وهذه من الشبهات التي ادعاها بعض غلاة المستشرقين من قدم، وأقاموا بناءها على وهم أن الحديث مكث مائة سنة غير مكتوب، ثم بعد هذه المدة الطويلة قرر المحدثون جمع الحديث، والمقصد من وراء
Ini adalah salah satu syubhat yang dilontarkan oleh sebagian orientalis ekstrem sejak lama, yang membangun argumennya atas dasar asumsi keliru bahwa hadits tidak ditulis selama seratus tahun. Lalu setelah rentang waktu yang panjang tersebut, para ahli hadits baru memutuskan untuk mengumpulkannya. Tujuan dari syubhat ini adalah…
هذه الشبهة إضعاف الثقة باستظهار السنة وحفظها في الصدور سالمة دون تحريف، وقد رد عدد من المستشرقين هذه الشبهة منهم: “جولد زيهر” و”شبرنجر” و”دوزي”، فقد عقد “جولد زيهر” فصلاً خاصاً حول تدوين الحديث في كتابه “دراسات إسلامية”، وشكك في صحة وجود صحف كثيرة في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم. ورأى شبرنجر في كتابه “الحديث عند العرب” أن الشروع في التدوين وقع في القرن الهجري الثاني، وأن السنة انتقلت بطريقة شفاهية فقط. أما “دوزي” فهو ينكر نسبة هذه “الركزة المجهولة” من الأحاديث إلى الرسول صلى الله عليه وسلم.
Syubhat ini bertujuan melemahkan kepercayaan terhadap hafalan sunnah dan penjagaannya di dada para sahabat secara murni tanpa distorsi. Sejumlah orientalis yang turut menyebarkan syubhat ini antara lain: Goldziher, Sprenger, dan Dozy. Goldziher menulis bab khusus tentang kodifikasi hadits dalam bukunya *Studi Islam*, di mana ia meragukan keberadaan lembaran-lembaran (shuhuf) hadits yang banyak pada masa Nabi ﷺ. Sprenger dalam bukunya *Hadits di Kalangan Arab* berpendapat bahwa kodifikasi baru dimulai pada abad ke-2 Hijriah, dan bahwa sunnah hanya ditransmisikan secara lisan saja. Sedangkan Dozy, ia justru menolak sepenuhnya atribusi hadits-hadits tersebut kepada Rasulullah ﷺ, dan menyebutnya sebagai “landasan anonim” 2
تفنيدها:
Bantahan terhadapnya:
يُرَدُّ على هذه الشبهة جملة وتفصيلاً، أما من حيث الجملة فيرد عليها بما يلي:
Syubhat ini dapat dibantah secara global maupun rinci. Secara umum, bantahan terhadapnya adalah sebagai berikut:
١. عدم الحاجة لذكر رجال السند لتلقّيهم، عند كتابة المدونين.
Tidak disebutkannya nama para perawi dalam sanad bukan berarti tidak ada transmisi, karena mereka menerimanya langsung secara lisan sebelum penulisan.
٢. أنه ليس في تأخر تدوين المحدثين إلا ما بعد تلك المدة المذكورة دليل على أن أولئك الأتباع لم يكتبوا عمن رووا عنه، من شيخ أو شيخ شيخ، والسند في ذلك الوقت لم يكن يروى سوى راوٍ واحد أو اثنين.
Fakta bahwa kodifikasi hadits secara resmi dilakukan beberapa waktu kemudian bukan berarti para tabi‘in tidak menulis apa yang mereka dengar dari guru mereka atau guru dari guru mereka. Pada masa itu sanad hadits masih sangat pendek, hanya satu atau dua orang perawi saja.
٣. ثم الشروط التي اشترطت من جهة الضبط والراوي وأمانته واتصال السند كفيلة ببعث الثقة في النفس بأن هذا ثابت عن الرسول صلى الله عليه وسلم.
Kemudian syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam ilmu hadits seperti ketelitian, amanah perawi, dan kesinambungan sanad merupakan jaminan ilmiah yang cukup kuat untuk menumbuhkan keyakinan bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah ﷺ. 3
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : Alukah
Leave a Reply