Musyakalah



Musyakalah

Artikel tentang Musyakalah ini Bagian dari Kategori Balaghah

Pengertian musyakalah

Musyakalah merupakan bentuk masdar dari kata “شاكل”. Secara leksikal kata tersebut bermakna “saling membentuk”.Sedangkan kata “المشاكلة” sendiri secara bahasa mempunyai arti “menyamai atau mengimbangi”

Secara terminologis makna musyakalah yang dikemukakan oleh Ahmad al Hasyimi dalam kitab Jawahirul Balaghoh adalah sebagai berikut :

المشاكلة هي أن يذكر الشيء بلفظ غيره لوقوعه في صحبته

“Menuturkan suatu makna dengan menggunakan kata lain, yang mana kedudukannya berfungsi sebagai pengimbang.”

Menurut Al Akhdhari dalam kitab Jauharul Maknun menyatakan musyakalah adalah:

المشاكلة هي ذكر الشيء بلفظ غيره لوقوعه في صحبته تحقيقا أو تقديرا

“Yaitu menyebutkan sesuatu dengan menggunakan lafadz lain, karena sesuatu tersebut bersamaan dengan lafadz lain tersebut dalam kenyataannya atau dalam perkiraannya.”

….. إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِ

“Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib“. (Surah Al Maidah ayat 116)

Secara hakiki, memang tidak cocok menghubungkan kata نَفْسٌ kepada Allah, sebab Allah tidak mempunyai nafs seperti makhluk-Nya. Tetapi untuk mengimbangi kata نَفْسٌ pada kalimat pertama, digunakan kata نَفْسك pada kalimat kedua. Dengan gaya musyakalah, kalimat itu seharusnya dipahami (ولا أعلم ما عندكyang artinya dan aku tidak mengetahui apa yang ada di sisi-Mu.

Musyakalah merupakan bagian dari muhassinat al-ma’nawy, walaupun dalam pembahasannya juga berkisar pada masalah lafadz. Hal demikian dikarenakan musyakalah adalah memindah makna dari satu lafadz ke lafadz lain yang berbeda. Penggunaan  musyakalah  dimaksudkan untuk menunjukkan makna yang indah dan dapat menimbulkan kekaguman.

Macam musyakalah

Tertera pada kitab balaghoh ‘arobiyyah musyakalah terbagi kedalam dua macam, yaitu:

  • Tahqiqah

Yaitu musyakalah yang mushahibnya disebutkan secara lafadz. Contohnya adalah sebagai berikut:

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, (Surah Asy Syura ayat 40)

Pada hakikatnya balasan untuk suatu tindakan kejahatan bukanlah dengan menggunakan kejahatan serupa, akan tetapi dengan memberikan hukuman adil yang sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah. Pemberian hukuman tersebut dimaksudkan sebagai tindakan untuk mengambil hak keadilan selaku sebagai orang yang disakiti. Maka tidaklah berdosa bagi seseorang yang mengambil haknya, baik dengan mengambil sendiri ataupun melalui pengadilan.

Pada ayat balasan dari suatu tindak kejahatan berupa hukuman yang sesuai dengan kejahatan tersebut. Adapun di dalam ayat ini “hukuman” yang dinyatakan dengan menggunakan kata (سيئة) merupakan bentuk ungkapan musyakalah, karena lafadz سيئةyang kedua berkedudukan sebagai pengimbang dari lafadz سيئة yang pertama.

فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah mereka, seimbang dengan serangannya terhadapmu. (Surah Al Baqarah ayat 194)

Balasan dari serangan tersebut adalah mengambil hak serang, karena hal itu merupakan sanksi dari sebuah serangan. Tetapi mengibaratkan “mengambil hak” menggunakan lafadz serangan merupakan bentuk dari musyakalah untuk menyeimbangkannya dengan lafadz i’tida’ yang pertama.

  • Taqdiriyyah

            Yaitu musyakalah yang mushohib tidak disebutkan dalam bentuk kata (lafadz), dan di dalam ungkapan (kalam) juga tidak terdapat tanda-tanda keberadaannya, namun berada di luar ungkapan.

صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ

Shibghah Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah. (Surah Al Baqarah ayat 138)

Allah membenamkan kita ke dalam keimanan, artinya Allah mensucikan diri kita dengan iman. Hal ini berlawanan dengan orang-orang nasrani yang membenamkan anak-anak mereka ke dalam air yang berwarna kuning yang biasa disebut dengan air pembaptisan. Mereka mengatakan bahwa hal tersebut dapat mensucikan anak-anak mereka.

Allah memerintahkan umat Islam untuk mengatakan kepada mereka: “Kami beriman kepada Allah”. Allah membenamkan kami ke dalam keimanan,bukan seperti yang kalian lakukan. Allah mensucikan kami dengan iman, bukan seperti pensucian yang kalian lakukan terhadap anak-anak kalian.

Penyebutan iman kepada Allah dengan menggunakan lafadz صِبْغَةَاللَّهِ merupakanbentuk ungkapan musyakalah karena bertujuan sebagai pengimbang kata النصارى صِبْغَةَ secara taqdiriyyah (dikira-kirakan). Adapun qorinah yang ada dalam ayat ini adalah qarinah haliyah (indikator situasional) yang berupa asbabun nuzul (sebab diturunkannya) ayat ini, yaitu pemandian anak-anak orang nasrani dengan air kuning.

Allahu Ta’ala ‘A’lam



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.