Ya Untuk Ilmu dan Keilmiahan … Tidak Untuk Sekularisme (Bagian 3)



 نعم للعلم والعلمية.. ولا للعلمانية

Ya untuk Ilmu dan Keilmiahan .. Tidak untuk Sekularisme (Bagian Ketiga)

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Artikel Ya Untuk Ilmu dan Keilmiahan … Tidak Untuk Sekularisme ini termasuk dalam Kategori Tsaqafah Islamiyah

فبالعقل استدللنا على وجود الله تعالى، وبالعقل استدللنا على صحة النبوة العامة، وبالعقل استدللنا على صدق نبوة محمد بخاصة، وعلى أن القرآن الذي جاء به من عند الله.

Dengan akal, kita menyimpulkan adanya Allah Ta‘ala. Dengan akal pula, kita menyimpulkan kebenaran kenabian secara umum. Dan dengan akal, kita membuktikan kebenaran kenabian Nabi Muhammad secara khusus, serta bahwa Al-Qur’an yang dibawanya berasal dari sisi Allah.

والعقيدة عندنا ـ نحن المسلمين ـ تقوم على أساس البينة والبرهان، لا على أساس التقليد للآباء، أو الطاعة للكبراء، والدعوة في الإسلام يجب أن تكون على بصيرة، وليس في الإسلام ما عرف في أديان أخرى من مثل قولهم: اعتقد، وأنت أعمى! أو أغمض عينيك ثم اتبعني! ولهذا شحن القرآن بالأدلة على توحيد الله تعالى، وعلى صدق رسوله، وعلى إمكان البعث، وحكمة الجزاء في الآخرة وغيرها.

Akidah dalam Islam — bagi kami kaum Muslimin — dibangun di atas dasar bukti dan hujjah, bukan di atas dasar mengikuti nenek moyang atau ketaatan buta kepada para pembesar. Seruan dalam Islam harus dilandasi dengan ilmu dan wawasan. Islam tidak mengenal doktrin seperti yang dikenal dalam agama lain: “Berimanlah, sekalipun kau buta!” atau “Tutup matamu dan ikutilah aku!” Karena itu, Al-Qur’an dipenuhi dengan dalil-dalil tentang tauhid, kebenaran Rasul-Nya, kemungkinan kebangkitan, hikmah dari pembalasan di akhirat, dan selainnya.

والشريعة في الإسلام قائمة على رعاية مصالح العباد، في المعاش والمعاد، كما يعبر فقهاؤها، وكما يدل على ذلك استقراء أحكامها في العبادات والمعاملات، وكما يؤكد ذلك تعليلات الأحكام في القرآن والحديث. فهي شريعة “منطقية” لا تفرق بين متماثلين، ولا تسوي بين مختلفين؛ ولهذا كان “القياس” أصلا من أصولها المعتبرة لدى جمهرة الفقهاء المسلمين؛ ولهذا قال أحد ممن آمن بالنبي صلى الله عليه وسلم “ما أمر بشيء، فقال العقل: ليته نهى عنه، ولا نهى عن شيء، فقال العقل: ليته أمر به”.

Syariat Islam berdiri di atas prinsip menjaga kemaslahatan hamba — baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat — sebagaimana dijelaskan oleh para ulama fikih. Hal ini tampak melalui telaah terhadap berbagai hukum dalam ibadah dan muamalah, serta penguatan-penguatan hukum dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ia adalah syariat yang logis, tidak membedakan antara dua hal yang serupa, dan tidak menyamakan antara dua hal yang berbeda. Karena itu, qiyas (analogi) dijadikan sebagai salah satu sumber hukum yang diakui oleh mayoritas ulama fikih. Dikatakan oleh salah seorang yang beriman kepada Nabi : “Tidaklah beliau memerintahkan suatu perkara, lalu akal berkata: ‘Andai saja beliau melarangnya,’ dan tidak pula beliau melarang suatu perkara, lalu akal berkata: ‘Andai saja beliau memerintahkannya.’”

والاتجاه “العلمي” أو “العقلانية” في الإسلام، أمر واضح ثابت، اعترف به كل منصف، ممن اطلع على شيء من تعاليم الإسلام الأصيلة، في مصادرها النقية، ولو من غير المسلمين، بل من بعض من اتخذوا موقفا ضد الإسلام.

Pendekatan ilmiah atau rasionalitas dalam Islam adalah hal yang nyata dan kokoh. Ia diakui oleh setiap orang yang objektif, yang telah menelaah sebagian ajaran Islam yang murni dari sumber-sumbernya yang asli, bahkan dari kalangan non-Muslim — termasuk dari mereka yang sebenarnya bersikap menentang Islam.

فهذا الكاتب الماركسي “مسكيم رودنسون” يقول في حديثه عن “العقيدة القرآنية”: “القرآن كتاب مقدس، تحتل فيه العقلانية مكانا جد كبير، فالله لا ينفك فيه يناقش ويقيم البراهين، بل إن أكثر ما يلفت النظر هو أن الوحي نفسه ـ هذه الظاهرة الأقل اتساما بالعقلانية في أي دين، الوحي الذي أنزله الله على مختلف الرسل عبر العصور، وعلى خاتمهم محمد ـ يعتبره القرآن هو نفسه أداة للبرهان، فهو في مناسبات عديدة يكرر لنا أن الرسل قد جاءوا “بالبينات” وهو لا يألو يتحدى معارضيه، أن يأتوا بمثله.

Penulis Marxis terkenal, Maxime Rodinson, berkata dalam pembahasannya tentang “akidah Qur’aniyah”: “Al-Qur’an adalah kitab suci yang menempatkan rasionalitas pada kedudukan yang sangat penting. Di dalamnya, Allah senantiasa berdialog dan menyampaikan argumen-argumen. Bahkan yang paling mencolok adalah bahwa wahyu itu sendiri — sebuah fenomena yang biasanya paling jauh dari rasionalitas dalam agama mana pun — justru dalam Al-Qur’an dijadikan sebagai alat argumentasi. Dalam banyak ayat, Al-Qur’an menyebut bahwa para rasul datang membawa ‘bukti-bukti nyata’, dan tak henti-hentinya menantang para penentangnya untuk mendatangkan tandingan serupa.”

والقرآن ما ينفك يقدم البراهين العقلانية على القدرة الإلهية، ففي خلق السموات والأرض، واختلاف الليل والنهار، وتوالد الحيوان، ودوران الكواكب والأفلاك، وتنوع الخيرات الحياة الحيوانية والنباتية، تنوعا رائع التطابق مع حاجات البشر، آيات لأولي الألباب.

Al-Qur’an senantiasa menghadirkan bukti-bukti rasional atas kekuasaan ilahi. Dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, proses berkembang biaknya hewan, perputaran planet dan bintang, serta keberagaman karunia kehidupan — baik hewan maupun tumbuhan — yang luar biasa sesuai dengan kebutuhan manusia, semuanya merupakan tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

{إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ} (سورة آل عمران:١٩٠).

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Surah Ali Imran ayat 190).

وفعل “عقل” “بمعنى ربط الأفكار بعضها ببعض .. حاكم البرهان العقلي” يتكرر في القرآن حوالي خمسين مرة، ويتكرر ثلاث عشرة مرة هذا السؤال الاستنكاري، وكأنه لازمة {أَفَلاَ تَعْقِلُونَ} (سورة البقرة:٤٤)،

Kata kerja عقل — yang bermakna menghubungkan satu pemikiran dengan pemikiran lain, dan memutuskan berdasarkan dalil akal — diulang dalam Al-Qur’an sekitar lima puluh kali. Pertanyaan retoris أَفَلَا تَعْقِلُونَ” (Tidakkah kalian berakal?) diulang sebanyak tiga belas kali, seakan menjadi refrein yang terus menerus.

{أَفَلَا تَعْقِلُونَ} (سورة البقرة:٤٤).

“Maka apakah kamu tidak berakal?” (Surah al-Baqarah ayat 44).

“والكفار أولئك الذين يرفضون الاستماع إلى دعوة محمد، يوصفون بأنهم {قَوْمٌ لاَّ يَعْقِلُونَ}، لأنهم قاصرون عن أي جهد عقلي، يهز تقاليدهم الموروثة، وهم بهذا كالجمادات والأنعام، بل أكثر عجمة، ولذلك يكره الله هؤلاء الناس، الذين لا يريدون أن يعيدوا النظر في أسس تفكيرهم”.

Orang-orang kafir yang menolak mendengarkan seruan Nabi Muhammad digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai “kaum yang tidak berakal”. Mereka tidak mampu melakukan upaya intelektual yang dapat mengguncang tradisi warisan mereka. Dalam hal ini, mereka seperti benda mati atau hewan ternak — bahkan lebih tidak memahami. Karena itu, Allah membenci orang-orang yang tidak mau meninjau ulang dasar-dasar cara berpikir mereka.

{قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ} (سورة التوبة:١٢٧).

“Mereka adalah kaum yang tidak berakal.” (Surah at-Taubah ayat 127).

“ولئن كان (يعني الله سبحانه) يرسل الآيات “الدالة” على وجوده وإرادته، وأهمها الآيات المنزلة على نبيه محمد، فلكي يفهمها الناس، ويجعلوا منها أساسا لتفكيرهم، ونرى الله يقيم البينة الفاصلة، ثم يختتم البرهان بقوله:

Dan sungguh, jika Allah mengirimkan ayat-ayat sebagai tanda yang menunjukkan keberadaan dan kehendak-Nya — dan yang paling utama dari ayat-ayat tersebut adalah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad — maka itu semua agar manusia dapat memahaminya dan menjadikannya sebagai landasan berpikir. Kita melihat bagaimana Allah menetapkan bukti yang jelas, lalu mengakhiri argumen itu dengan firman-Nya:

{كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ} (سورة الروم:٢٨).

“Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat (Kami) bagi kaum yang berakal.” (Surah ar-Rum ayat 28).

ويستمر الكاتب في بيان عقلانية الإسلام، مقارنا هذه بما جاء في العهدين القديم والجديد، لليهود والمسيحيين، إلى أن يقول “في مقابلة هذا، تبدو العقلانية القرآنية صلبة، كأنها الصخر”.

Penulis (yakni Maxime Rodinson) terus menjelaskan rasionalitas dalam Islam, dan membandingkannya dengan isi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang dianut oleh Yahudi dan Kristen. Hingga ia berkata, “Sebagai perbandingan dengan itu semua, rasionalitas Al-Qur’an tampak begitu kokoh — seakan-akan ia adalah batu karang.”

ومثل هذا المناخ العقلي، الذي صنعته آيات القرآن ـ كما اعترف به الفكر الماركسي وغيره ـ يشكل أخصب بيئة لإنتاج علمي مثمر، قائم على استخدام أقصى الطاقات والمواهب البشرية.

Iklim rasional seperti ini — yang dibentuk oleh ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana diakui oleh pemikir Marxis dan lainnya — menciptakan lingkungan paling subur untuk menghasilkan ilmu yang produktif, yang bertumpu pada pemanfaatan potensi dan kemampuan manusia secara maksimal.

وهذا كله يبين لنا طبيعة “المناخ” الذي هيأه الإسلام لظهور “المنهج العلمي” السليم، الذي لم يملك باحثو الغرب أن ينكروه.

Semua ini menunjukkan kepada kita karakter “iklim ilmiah” yang dipersiapkan oleh Islam untuk melahirkan “metodologi ilmiah” yang benar — sesuatu yang bahkan tidak mampu diingkari oleh para peneliti Barat.

Bersambung ke Bagian Berikutnya in sya Allah

Sumber : Qaradawi.Net



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.