براعة الاستهلال في سورة البقرة؛ عرضٌ وتحليلٌ
Keindahan Pembukaan dalam Surah Al-Baqarah: Kajian dan Analisis (Bagian Kesebelas)
Oleh : Abdun Nashir Salamah
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Keindahan Pembukaan al Baqarah ini termasuk dalam Kategori Serial Bahasa al Quran
معالم الاهتداء بالقرآن:
Rambu-rambu Petunjuk dengan Al Quran:
اشتملت هذه الآيات الأولى من سورة البقرة أيضًا على إشاراتٍ لطيفةٍ إلى المعالم الكبرى لما جاء به القرآن الكريم من الهدى، وهي المعالم التي ترسم طريق الاهتداء الحقّ بالقرآن وتحقيق التقوى، فبدأت بأهم ذلك وهو إصلاح الاعتقاد؛ إِذْ لا اهتداء ولا تقوى بلا عقيدةٍ صحيحةٍ، فقال تعالى في ذلك: ﴿الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ﴾ [البقرة: ٣]؛ وعبّر عن الاعتقاد بالإيمان بالغيب لأن مدار ذلك عليه، وأعظم ذلك الإيمان بالله وتوحيده. وقد تناولت سورة البقرة موضوع الغيب في مناسباتٍ عديدةٍ كما في قصة خلق آدم وما أحاط بها من تفاصيل، وذكر الملائكة في مواضع عدَّةٍ، وفي الإخبار عن الجنة ونعيمها والنار وجحيمها، وغير ذلك من موضوعاتٍ.
Ayat-ayat pertama dari Surah al Baqarah juga mengandung isyarat-isyarat halus mengenai rambu-rambu utama dari petunjuk yang dibawa oleh Al Quran. Rambu-rambu inilah yang menggambarkan jalan petunjuk sejati melalui Al Quran dan perwujudan ketakwaan. Dan yang pertama kali disebutkan adalah pembenahan akidah, karena tidak ada petunjuk dan ketakwaan tanpa akidah yang benar. Allah Ta‘ala berfirman tentang hal ini: “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib” (Surah al Baqarah ayat 3). Dalam konteks ini, keyakinan dinyatakan sebagai keimanan kepada hal gaib karena hal itu merupakan poros utama keimanan, dan yang paling agung darinya adalah keimanan kepada Allah dan tauhid-Nya. Surah al Baqarah membahas topik gaib dalam berbagai kesempatan, seperti dalam kisah penciptaan Adam dan segala rinciannya, penyebutan para malaikat di banyak tempat, kabar tentang surga dan kenikmatannya serta neraka dan siksaannya, dan topik-topik lainnya.
كما أنّ في هذا الوصف بالإيمان بالغيب تعريضًا ببني إسرائيل في ضعف إيمانهم به، ولا سيما في إيمانهم بالله؛ إِذْ ستتعرض السورة لاحقًا إلى ذِكْر اتخاذهم العجل إلهًا وطلبهم رؤية الله جهرةً بيانًا لتعلقهم بالمحسوس المشاهد تعلقًا جعل إيمانهم بالغيب مستعصيًا وعسيرًا، وفي هذا يقول الله تعالى:
Penyifatan dengan keimanan kepada yang gaib ini juga menyiratkan sindiran terhadap Bani Israil dalam lemahnya iman mereka terhadap hal-hal gaib, terutama dalam hal keimanan mereka kepada Allah. Karena Surah al Baqarah nanti akan menyebutkan bagaimana mereka menjadikan anak sapi sebagai sesembahan dan permintaan mereka untuk melihat Allah secara terang-terangan. Ini menunjukkan keterikatan mereka yang kuat terhadap hal-hal yang bersifat indrawi dan kasat mata, sehingga membuat keimanan mereka kepada yang gaib menjadi sangat berat dan sukar. Allah Ta‘ala berfirman :
﴿وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ * وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ﴾ [البقرة: ٥٤-٥٥]
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: Wahai kaumku! Sungguh kalian telah menzalimi diri kalian sendiri dengan menjadikan anak sapi sebagai sesembahan, maka bertaubatlah kepada Penciptamu dan bunuhlah dirimu sendiri, itu lebih baik bagimu di sisi Penciptamu. Maka Dia menerima taubat kalian, sungguh Dia Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Dan (ingatlah) ketika kalian berkata: Wahai Musa! Kami tidak akan beriman kepadamu sampai kami melihat Allah secara terang-terangan, maka halilintar menyambar kalian sementara kalian menyaksikan” (Surah al Baqarah ayat 54–55).
يقول صاحب (نظم الدرر): «ولما استُتيبوا عن عبادة العجل التي تقيّدوا فيها بالمحسوس الذي هو مثَلٌ في الغباوة، طلبوا رؤية بارئهم بالحسِّ على ما له من صفات الكمال التي تأبى الابتذال، ناسِين لجميع النِّعم والنِّقم، مسرعين في الكفر الذي هو من شأن الحائر، والحال أنّ الفرقان الذي لا يدع شبهةً ولا يبقِي حيرةً قائمٌ بين أيديهم؛ لأنهم من الجمود والوقوف مع الوَهْم والحسِّ بمكانٍ عظيمٍ»
Penulis kitab Nazhm ad-Durar berkata: “Ketika mereka diperintahkan untuk bertaubat dari penyembahan terhadap anak sapi — yang mana tindakan tersebut merupakan keterikatan dengan hal-hal indrawi yang merupakan lambang kebodohan — mereka malah meminta untuk melihat Pencipta mereka dengan pancaindra, padahal Allah memiliki sifat-sifat kesempurnaan yang tidak layak untuk direndahkan. Mereka lupa terhadap semua nikmat dan peringatan yang diberikan, dan tergesa-gesa dalam kekafiran yang merupakan ciri khas orang yang bingung. Padahal Al Furqan (pembeda kebenaran dan kebatilan) yang tidak menyisakan keraguan dan kebingungan telah berada di hadapan mereka. Namun mereka tetap berada dalam kejumudan dan keterikatan terhadap khayalan serta indra secara berlebihan.”1
وفي تناول السورة الكريمة لبعض الموضوعات الغيبية مع التعريض ببني إسرائيل في ضعف إيمانهم بالغيب من خلال ما ذكرناه آنفًا ما يدلّ على أن قوله تعالى: ﴿الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ﴾ [البقرة: ٣]، قد وقع في مفتتح السورة موقع براعة استهلال للسورة نفسها. كما أنه يُعَدُّ براعة استهلالٍ لجميع سور القرآن بالنظر لكثرة موضوعات الغيب فيها حتى لا تجد سورة تخلو من ذكر ذلك، ولا سيما في القرآن المكيِّ.
Pembahasan Surah al Baqarah terhadap sebagian tema-tema gaib, disertai sindiran terhadap Bani Israil atas lemahnya keimanan mereka terhadap hal-hal gaib sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, menunjukkan bahwa firman Allah Ta‘ala: “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib” (Surah al Baqarah ayat 3) merupakan pembukaan yang indah bagi surat itu sendiri. Bahkan, ia juga bisa dianggap sebagai pembukaan yang istimewa bagi seluruh surat dalam Al Quran, karena banyaknya tema tentang perkara gaib di dalamnya — nyaris tidak ada satu surat pun yang luput darinya, terutama dalam surat-surat Makkiyah.
وأما المعْلَم الثاني من معالم الهدى القرآنيِّ فهو أداء حقّ الله ظاهرًا بعد تأديته باطنًا بالإيمانِ به المدلولِ عليه بالوصف الأول، وهذا المعْلَم هو ما يُصطلح عليه بالعبادة الدالة على الخضوع الفعليِّ لله تعالى. وقد اقتصرت الآيات من ذلك على ذِكر إقام الصلاة: ﴿وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ﴾ [البقرة: ٣]؛ إِذْ إن الصلاة هي أعظم العبادات الظاهرة إطلاقًا، كما هو ظاهر الحديث:
Adapun rambu kedua dari petunjuk Al Quran adalah menunaikan hak Allah secara lahiriah setelah sebelumnya menunaikannya secara batin melalui keimanan kepada-Nya sebagaimana disebut dalam sifat pertama. Rambu ini biasa disebut sebagai ibadah, yang menunjukkan bentuk ketundukan nyata kepada Allah Ta‘ala. Ayat-ayat yang disebut dalam konteks ini hanya menyebutkan pelaksanaan shalat: “dan mereka mendirikan shalat” (Surah al Baqarah ayat 3), karena shalat adalah ibadah lahiriah yang paling agung secara mutlak, sebagaimana disebut dalam hadits :
(وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلَاةُ)،
“Ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat.”2
وهي أظهر تجليات الخضوع لله تعالى لما تشتمل عليه من قيامٍ وركوعٍ وسجودٍ وذِكْرٍ له.
Shalat juga merupakan manifestasi paling jelas dari ketundukan kepada Allah Ta‘ala karena mengandung berdiri, rukuk, sujud, dan dzikir kepada-Nya.
وقد جاء ذكرها في مفتتح السورة تاليًا للإيمان لإفادة أنها أعظم دلائله العملية، حتى أنها سميت به في قوله تعالى:
Disebutkannya shalat pada permulaan surat ini setelah iman, menunjukkan bahwa ia adalah bukti praktis terbesar dari keimanan itu sendiri. Bahkan dalam firman Allah disebut sebagai “iman”, sebagaimana firman-Nya :
﴿وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ﴾ [البقرة: ١٤٣]،
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian” (Surah al Baqarah ayat 143).
وفي هذا يقول البِقاعيُّ: «ولمّا كانت الصلاة التزام عهد العبادة مبنيًّا على تقدّم الشهادة متمَّمَةً بجماع الذِّكْر وأنواع التحيات لله؛ من القيامِ له تعالى والركوعِ له والسجودِ الذي هو أعلاها والسلامِ بالقول الذي هو أدنى التحيات =كانت لذلك تعهُّدًا للإيمان وتكرارًا؛ ولذلك من لم يُدِم الصلاة ضعف إيمانه وران عليه كفرٌ؛ فلا إيمان لمن لا صلاة له»
Al-Biqa‘i berkata: “Karena shalat adalah bentuk penegasan perjanjian penghambaan, yang dibangun atas dasar syahadat dan disempurnakan dengan himpunan dzikir dan berbagai bentuk penghormatan kepada Allah — dari berdiri untuk-Nya, rukuk, dan sujud yang merupakan bentuk tertingginya, serta salam yang merupakan bentuk penghormatan yang paling ringan — maka shalat adalah perwujudan dan pengulangan keimanan. Karena itu, siapa yang tidak terus-menerus mendirikan shalat, maka imannya akan melemah dan terhalang oleh kekufuran; tidak ada iman bagi orang yang tidak mendirikan shalat.”3
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Baca lebih nyaman dengan aplikasi rezandroid. Download versi terbaru di Google Play Store : https://play.google.com/store/apps/details?id=com.rezaervani.rezandroid
Leave a Reply