Makna-Makna Pendidikan Surah Al-Ikhlash (4)



دلالات تربوية من سورة الإخلاص

Makna-Makna Pendidikan dari Surah Al-Ikhlash (Bagian Keempat)

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Artikel Makna Pendidikan Surah Al-Ikhlash ini termasuk dalam Kategori Tadabbur al Quran

ثانيًا: تفرده بقضاء الحوائج للناس

Kedua: Keesaan-Nya dalam Memenuhi Hajat Manusia

١) إذا كان الله – سبحانه – هو قصد الإنسان، فهو الذي يُلجأ إليه ويُستجار به، ويُستعان به ويتكل عليه، فهو المقصد في الدعاء، وهو المقصد في العبادة، وهو المقصد في كل حركة وسكنة للإنسان، فلا يصرف المؤمن أي عمل إلا لوجه الله – تعالى – ومن هنا تتحول عاداته إلى عبادة، لأنه لا يأكل إلا لكي يتقوى على عبادة الله، ولا ينام إلا لينال القسط من الراحة، الذي به يستطيع أن يستكمل يومًا آخرَ من العبادة بذات القوة والنشاط الذي بدأ به اليوم الفائت؛ لذا فإن صفة الصمدية التي وصف الله بها نفسه كفتِ الإنسانَ اللجوءَ لغيره والاحتياجَ لسواه، فإذا كان ذلك كذلك، فلماذا يلجأُ الإنسان لغير الله – تعالي – في طلب الحاجات؟

1) Jika Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā adalah tujuan seorang hamba, maka Dialah yang menjadi tempat bergantung, tempat memohon perlindungan, tempat meminta pertolongan, dan tempat bersandar. Dialah tujuan dalam doa, tujuan dalam ibadah, dan tujuan dalam setiap gerak dan diam manusia. Karena itu, seorang mukmin tidak mengarahkan amalnya kecuali untuk wajah Allah Ta‘ālā. Dari sini, kebiasaan-kebiasaannya dapat berubah menjadi ibadah: ia tidak makan kecuali untuk menguatkan diri agar dapat beribadah kepada Allah, dan ia tidak tidur kecuali untuk memperoleh istirahat yang cukup, sehingga ia mampu melanjutkan satu hari lagi dalam ibadah dengan kekuatan dan semangat yang sama seperti saat ia memulai hari sebelumnya. Oleh karena itu, sifat ash-shamadiyyah yang Allah sifatkan kepada diri-Nya telah mencukupi manusia dari bergantung kepada selain-Nya. Maka jika demikian halnya, mengapa manusia masih meminta hajat kepada selain Allah Ta‘ālā?

بمعنى آخر: لماذا يذهب الإنسان للسوق ليشتري الحاجات، ويذهب إلى المدرسة ليكتسب علوم الدنيا، ويذهب إلى العمل لكي يكسب المال…إلخ؟ أليس الله – تعالى – هو قصْدنا، وقد كفانا عن سؤال غيره؟ ألسنا نوحِّد الله – تعالى – ونعلم يقينًا أنه وحده هو الذي يقضي الحاجات فهو الصمد؟

Dengan kata lain: mengapa seseorang pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan, pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu dunia, atau pergi bekerja untuk memperoleh penghasilan, dan seterusnya? Bukankah Allah Ta‘ālā adalah tujuan kita, dan Dia telah mencukupi kita dari meminta kepada selain-Nya? Bukankah kita mentauhidkan Allah Ta‘ālā dan meyakini dengan pasti bahwa hanya Dia-lah yang memenuhi segala hajat, karena Dia adalah Ash-Shamad?

٢) اعلم أخي، أن المسلم لا بدَّ أن يتخذَ من الأسباب في الدنيا ما يتحصلُ به على اكتساب الطاعات، مع العلم يقينًا أن تلك الأسبابَ هي أسبابٌ شرعيةٌ وضعها المولي – سبحانه – ليتحقق بها الغايات الشرعية، ومن ثمَّ ينبغي – يقينًا – عدمُ الاعتماد على هذه الأسباب في جلب نتائجها، فالله – تعالى – قد سخَّرها لنا لتحقيق ذلك، مع تعلق القلب بالله – تعالى – فالله – تعالى – الذي سخر الأسبابَ وخلق لها وظيفتَها، وهو القادرُ على أن يعدمَها وظيفتَها تلك.

2) Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa seorang muslim harus mengambil sebab-sebab di dunia yang dapat membantunya memperoleh ketaatan, dengan keyakinan bahwa sebab-sebab tersebut adalah sebab-sebab yang syar’i yang Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā tetapkan agar tercapai tujuan-tujuan syar’i. Oleh karena itu, ia tidak boleh bergantung sepenuhnya pada sebab-sebab tersebut untuk menghasilkan hasilnya. Allah Ta‘ālā-lah yang telah menundukkan sebab-sebab itu bagi kita untuk mencapai tujuan, namun hati harus tetap bergantung kepada Allah Ta‘ālā. Dialah yang menundukkan sebab-sebab itu, menciptakan fungsi-fungsinya, dan Dia pula yang mampu menghilangkan fungsi tersebut.

فمثلًا: المرءُ الذي يأكلُ لكي يتقوى على عبادة الله قد يصيبه المرض من هذا الطعام، ومن يطلب العلم في المدرسة قد يرسب؛ لأنه لم يستطع تحصيلَه بالاعتماد على معلِّميه؛ لذا فالله – تعالى – يعطي لهذه الأسباب قوتها وكفاءتها في تحقيق تلك الغايات، الأمر الذي يطرحُ سؤالًا: إذا كان الأمر كذلك، فلماذا نعتمد على الأسباب أصلًا؟ ولماذا خلق الله – تعالى – لنا الأسباب؟ ولم يجعل الأمر في تحصيل تلك الغايات بمجرد الطلب منه – سبحانه – دون بَذْلِ الأسباب؟

Sebagai contoh: seseorang yang makan untuk menguatkan diri beribadah kepada Allah bisa saja jatuh sakit karena makanan tersebut. Seseorang yang menuntut ilmu di sekolah bisa saja gagal karena ia tidak mampu meraih hasil hanya dengan bergantung pada guru-gurunya. Maka Allah Ta‘ālā-lah yang memberi kekuatan dan efektivitas kepada sebab-sebab itu dalam mencapai tujuan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Jika demikian, mengapa kita harus bergantung pada sebab-sebab itu sejak awal? Mengapa Allah Ta‘ālā menciptakan sebab-sebab itu untuk kita, dan tidak menjadikan pencapaian tujuan tersebut cukup hanya dengan memohon kepada-Nya tanpa melakukan usaha?

يُجابُ على ذلك: بأنك أخي المسلم في دار الدنيا دار امتحان وابتلاء، أما دار الجزاء الآخرة الجنة – إن شاء الله – سوف تنال الطيبات دون أسباب؛ لأنها دار نعيم، فلا بدَّ لك في هذه الدار الدنيا أن تبذلَ الجهد والمشقة التي تحصل بها على قصدك، وهو مرضاة الله – تعالى – لذا قال سبحانه:

Jawabannya adalah: wahai saudaraku, engkau hidup di dunia yang merupakan tempat ujian dan cobaan. Adapun negeri balasan, yaitu surga (insya Allah), engkau akan memperoleh segala kenikmatan tanpa sebab karena ia adalah negeri penuh kenikmatan. Maka di dunia ini engkau harus berusaha dan bersusah payah untuk mencapai tujuanmu, yaitu meraih ridha Allah Ta‘ālā. Karena itu, Allah berfirman :

 لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ  [البلد: ٤]،

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (Surah Al-Balad: 4).

فهو في ﴿ كَبَدٍ ﴾ [البلد: 4]؛ ليس لأنه يبذلُ هذا الجهدَ وهذه المشقةَ لكي يكتسب الأسباب، التي بتوجيهها لمرضاة الله يتحصل منها على رضاه، وهي نتائج الأعمال، وإنما كبد الإنسان وعناؤه في أمر آخر، وهو كونه بين الاعتماد على الأسباب بالكلية، وهنا يكون قد خسِر عقيدتَه وقصدَه لله – تعالى – وبين كونِه يأخذ بالأسباب وهو يعلم يقينًا أنها لا تغني بذاتها في تحصيل المراد، وإنما يتعيَّن عليه أن يوجِّه قصده لله – تعالى – مستعينًا به، طالبًا منه العون في تحقيق تلك الغايات الشرعية التي أمر بها.

Kesusahan ini bukan karena engkau bersusah payah untuk memperoleh sebab-sebab yang jika diarahkan untuk mencari ridha Allah akan menghasilkan ridha-Nya, yang merupakan hasil dari amal. Akan tetapi, kesusahan manusia adalah karena ia berada di antara dua keadaan: bergantung sepenuhnya pada sebab-sebab, yang dalam hal ini ia akan kehilangan akidah dan tujuannya kepada Allah Ta‘ālā; dan mengambil sebab-sebab sambil meyakini bahwa sebab-sebab itu tidak bermanfaat dengan sendirinya dalam mencapai tujuan, melainkan ia harus mengarahkan tujuannya kepada Allah Ta‘ālā, memohon pertolongan kepada-Nya, dan meminta bantuan-Nya dalam mencapai tujuan-tujuan syar’i yang diperintahkan oleh-Nya.

Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah

Sumber : Alukah



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.