Syubhat Orientalis terhadap Sunnah Nabi (9)



شبهات المستشرقين حول السنة النبوية القائلين بها، أدلتهم، تفنيدها. دراسة نقدية

Syubhat Orientalis terhadap Sunnah Nabi : Argumen Pendukung Mereka, Dalil-Dalil Mereka, dan Penolakannya. (Sebuah Studi Kritis) [Bagian Kesembilan]

Peneliti: Sami Manshur Muhammad Saif

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Makalah Syubhat Orientalis terhadap Sunnah Nabi masuk dalam Kategori Ilmu Hadits


الشبهة الرابعة: زعمهم التعارض بين القرآن الكريم وبعض الأحاديث، وبين الأحاديث نفسها.
ومن شبهات المستشرقين أيضًا ادعاؤهم أن بين بعض السنن والقرآن تعارضًا، كما يزعمون أن السنة تعارض فيما بينها، ويرتبون على ذلك النتيجة التي قدموا لها بأنها لا داعي للأخذ بالسنة، أي بالأحاديث النبوية.

 

Syubhat keempat: Klaim mereka bahwa terdapat kontradiksi antara Al-Qur’an dan sebagian hadits, serta kontradiksi antara hadits satu dengan yang lainnya. Di antara syubhat orientalis adalah klaim bahwa sebagian sunnah bertentangan dengan Al-Qur’an, bahkan ada pula yang menyatakan bahwa sunnah itu saling bertentangan satu sama lain. Berdasarkan tuduhan ini, mereka lalu menyimpulkan bahwa tidak ada keharusan untuk berpegang kepada sunnah, yaitu hadits Nabi ﷺ.

يقول “جولد زيهر” في كتابه (دراسات إسلامية): “إنه لا توجد مسألة خلافية سياسية أو اعتقادية إلا ولها اعتماد على جملة من الأحاديث ذات الإسناد القوي”

Seorang orientalis bernama Goldziher dalam bukunya Studi-studi Islam berkata: “Tidak ada satu pun isu politik atau ideologis yang diperselisihkan kecuali pasti ada hadits ber-sanat kuat yang digunakan sebagai dasar.” 1

Bantahannya:

إن علمائنا الراسخين وقفوا أمام شبهة التعارض المزعومة هذه، سواء كانت تعارضًا مزعومًا بين القرآن والحديث أو بين الأحاديث بعضها مع بعض، ومن أمثلة التعارض الأول –حسب زعمهم–: أي التعارض بين القرآن والسنة: أن يأمر القرآن بقراءة ما تيسر من القرآن في الصلاة في قوله:

Para ulama kita yang kokoh dalam keilmuannya telah menghadapi syubhat “kontradiksi” ini, baik itu yang dituduhkan sebagai kontradiksi antara Al-Qur’an dan hadits, maupun antara hadits dengan hadits. Salah satu contoh yang biasa mereka anggap kontradiktif adalah: Al-Qur’an memerintahkan untuk membaca apa yang mudah dari Al-Qur’an dalam shalat, sebagaimana Firman Allah :

﴿فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ﴾ [سورة المزمل: ٢٠]، ثم يقول الحديث النبوي: “لا صلاة إلا بفاتحة الكتاب”، 

“Bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an” (Surah al-Muzzammil: 20), sedangkan hadits Nabi ﷺ menyatakan: “Tidak sah shalat tanpa membaca Al-Fatihah.”

فيُقال بكل بساطة: إن هذا الأمر لا يمكن أن يكون تعارضًا أبدًا، ولكنه تخصيص للعام، وهذا الأمر من بديهيات علوم الشريعة، فأمر القرآن عام خصصته السنة النبوية، ولا تعارض لأن السنة هي البيان التفصيلي لما أجمل في القرآن كما تصرح بذلك الآية:

Jawabannya sederhana: ini bukan kontradiksi, melainkan bentuk takhṣīṣ (pengkhususan) dari lafaz umum oleh dalil yang lebih spesifik. Ini merupakan dasar dalam ilmu Ushul Fiqih. Maka perintah umum dalam Al-Qur’an telah diperinci oleh sunnah, dan hal itu tidak dianggap bertentangan. Bahkan, Al-Qur’an sendiri menjelaskan fungsi sunnah sebagai penjelas dari wahyu, sebagaimana Firman Allah :

﴿وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ﴾ [سورة النحل: ٤٤].

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr (wahyu) agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (Surah an-Nahl: 44)

وأما النوع الثاني أي تعارض حديث مع حديث آخر فيقال: إن تعارض الأحاديث وقوة صحتها لا تعني بأي حال أنها موضوعة أو غير صحيحة، فمن المعلوم أن التعارض الظاهري بين بعض الأحاديث إنما هو نتيجة لبعض الأسباب ذكرها العلماء منها:

Adapun jenis kedua, yaitu pertentangan antara satu hadits dengan hadits lain, maka dijelaskan: bahwa adanya kontradiksi antara hadits-hadits yang semuanya shahih tidak berarti bahwa hadits itu palsu atau tidak sahih. Telah diketahui bahwa kontradiksi yang tampak antara sebagian hadits sebenarnya muncul karena beberapa sebab yang telah dijelaskan oleh para ulama, di antaranya:

– تعدد وقوع الفعل الذي حكاه الصحابي مرتين في ظرفين مختلفين، فيحكي هذا ما شاهده في ذلك الظرف، ويحكي الثاني ما شاهده في ظرف آخر كحديثي الوضوء “من مس الذكر”، “وهل هو إلا بضعة منك؟”.

– Peristiwa yang diceritakan oleh sahabat terjadi dua kali dalam dua kondisi berbeda. Maka sahabat pertama meriwayatkan berdasarkan apa yang ia lihat pada situasi pertama, dan sahabat lain meriwayatkan berdasarkan apa yang ia lihat di kondisi kedua. Seperti dalam dua hadits wudhu: “Barang siapa menyentuh kemaluannya maka wudhu,” dan hadits “Bukankah itu hanya bagian dari tubuhmu?”

– ومنها أن يفعل النبي صلى الله عليه وسلم الفعل على وجهين إشارة إلى الجواز، فيروي صحابي ما شاهده في الحالة الأولى، ويروي الثاني ما شاهده في الحالة الثانية، كأحاديث صلاة الوتر أما سبع أو تسع أو إحدى عشرة.

– Nabi ﷺ sendiri pernah melakukan satu amal dengan dua cara berbeda, sebagai isyarat bahwa keduanya boleh. Lalu masing-masing sahabat meriwayatkan apa yang mereka lihat sesuai kondisi yang berbeda. Seperti dalam hadits-hadits tentang jumlah rakaat witir: ada yang meriwayatkan 7 rakaat, 9 rakaat, dan 11 rakaat.

– ومنها اختلاف الصحابة –رضوان الله عليهم أجمعين– في حكاية حال شاهدوها من رسول الله صلى الله عليه وسلم مثل اختلافهم في حجة الرسول صلى الله عليه وسلم هل كان فيها قارئاً أو مفرداً أو متمتعاً؟ وكل ذلك جائز أن يفهمها الصحابة من النبي صلى الله عليه وسلم لأن نية القرآن أو الإفراد أو التمتع مما لا يطلع عليه الناس، فكل يحكم بما يرى.

– Perbedaan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam menyampaikan kondisi yang mereka lihat dari Rasulullah ﷺ, seperti perbedaan mereka dalam menyampaikan cara Nabi ﷺ berhaji: apakah beliau haji qiran, ifrad, atau tamattu’? Semuanya boleh jadi benar karena yang berbeda adalah pemahaman mereka terhadap niat Nabi ﷺ, sedangkan niat adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh manusia. Maka masing-masing sahabat meriwayatkan sesuai dengan pemahamannya.

– ومنها اختلافهم في فهم مراد النبي صلى الله عليه وسلم من الحديث، فيفهمه بعضهم بالوجوب، والآخرون يفهمونه بالاستحباب.

– Perbedaan para sahabat dalam memahami maksud Nabi ﷺ dari sabdanya. Ada yang memahaminya sebagai kewajiban, ada pula yang memahaminya sebagai anjuran (sunnah).

– ومنها أن يسمع الصحابي حكماً جديداً ناسخاً للأول، ولا يكون الثاني قد سمعه، فيظل يروي بالحكم الأول على ما سمع، وهذا كثير.

– Kadang seorang sahabat mendengar hukum baru yang merupakan nasakh (penghapus) terhadap hukum sebelumnya, sementara sahabat lain tidak mendengarnya. Maka sahabat tersebut tetap meriwayatkan berdasarkan hukum pertama yang ia dengar. Dan ini cukup sering terjadi.

Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah

Sumber : Alukah

Catatan Kaki

  1. Lihat: rujukan sebelumnya, Dr. Mustafa as-Siba‘i, (halaman yang sama); Fathi ash-Shubairi, (halaman yang sama).


Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.