
نقد روايات النزول عند ابن عطية
Kritik terhadap Riwayat Asbabun Nuzul menurut Ibnu ‘Athiyyah (Bagian Keempat)
Oleh : Syaikh Muhammad Shalih Sulaiman
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Kritik Terhadap Riwayat Asbabun Nuzul ini masuk dalam Kategori Asbabun Nuzul
Artikel ini berasal dari kitab “ash-Shina‘ah an-Naqdiyyah fi Tafsir Ibni ‘Athiyyah”, terbitan Markaz Tafsir tahun 1437 H / 2016 M, hlm. 291 dan setelahnya
٥) انتقاد ما طَرَأ على روايات النزول من تصحيفٍ أو وَهْمٍ:
5) Kritik terhadap Riwayat Sebab Nuzul yang Mengalami Kesalahan Tulisan atau Kekeliruan:
لا شكّ أنَّ خلوّ رواية سبب النزول من الوَهْم والتصحيف يضمن سلامة الفهم وصحّته؛ ولذا كان من أكبر أسباب وقوع الخطأ في مبحث النزول =وقوع الوَهْم والاشتباه لدى الناقل للخبر؛ حيث تشتبه عليه آية بآية، أو شخص بشخص، أو قصة بقصة، فيدَّعِي لآيةٍ سببًا ظانًّا أنه نزل فيها، وإنما نزل في شبيهتها، أو يدَّعِي نزولها في شخص، ولم تنزل فيه وإنما تصحَّف عليه اسمه، أو يدَّعِي نزولها في حادثة مشهورة، وإنما هي في حادثة مشابهة لكنها أقلّ شهرة.
Tidak diragukan bahwa bebasnya riwayat sebab nuzul dari kekeliruan dan kesalahan tulisan menjamin keutuhan dan ketepatan pemahaman terhadap makna ayat. Maka di antara penyebab terbesar terjadinya kesalahan dalam pembahasan asbābun nuzūl adalah adanya kekeliruan dan kerancuan dari pihak perawi, di mana ia bisa tertukar antara satu ayat dengan ayat lainnya, atau satu tokoh dengan tokoh lainnya, atau satu kisah dengan kisah yang mirip. Ia mengira suatu ayat turun dalam kasus tertentu, padahal yang dimaksud adalah kasus yang mirip. Atau ia menyangka ayat itu turun berkenaan dengan seseorang, padahal tidak; hanya saja nama orang itu tertulis salah. Atau ia mengira ayat itu turun dalam suatu peristiwa terkenal, padahal sebenarnya turun dalam peristiwa yang mirip tapi kurang dikenal.
ومثل هذا الاشتباه يترتّب عليه إدخال آيات في أسباب النزول وليست منها، ويخرج من أسباب النزول آيات هي المقصودة -أوّلًا- بالنزول؛ ولذا يجب على الناقد التنبُّه لمثل ذلك حتى لا تَزِلَّ فيه قَدَمُه. وقد كان ابن عطية يقظًا أشد التيقُّظ لمثل هذا الخَلل، بصيرًا به، عارفًا بمسالكه وطرقه؛ ولذا انتقد كثيرًا من الأقوال، وأرجع الخطأ فيها لاشتباه الراوي أو المفسّر ووَهْمِه ساعةَ تفسيره للآية أو نقلِهِ للخبر.
Kekeliruan semacam ini menyebabkan masuknya ayat-ayat yang tidak relevan ke dalam daftar sebab nuzul, sementara ayat-ayat yang seharusnya dimasukkan justru tertinggal. Oleh karena itu, pengkaji harus waspada agar tidak tergelincir. Ibnu ‘Athiyyah sendiri sangat teliti terhadap kesalahan semacam ini. Ia memahami jalur-jalurnya dan menguasai cara mengidentifikasinya. Karena itu, ia banyak mengkritik pendapat yang keliru dan mengembalikan kesalahannya kepada kekeliruan perawi atau mufassir dalam memahami ayat atau menyampaikan riwayat.
فمن ذلك مثلًا: ما ذكره عند تفسير قوله تعالى:
Contohnya adalah penjelasan Ibnu ‘Athiyyah saat menafsirkan firman Allah:
﴿الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ فَأَلْقَوُا السَّلَمَ مَا كُنَّا نَعْمَلُ مِنْ سُوءٍ﴾ [سورة النحل: ٢٨]
“(yaitu) orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan menzalimi diri mereka sendiri. Mereka menyerahkan diri (sambil berkata): Kami tidak pernah mengerjakan kejahatan apa pun.” (Surah an-Nahl ayat 28)
قال: «وظاهر الآية أنها عامة في جميع الكفار…، وقال عكرمة: نزلت في قوم من أهل مكة آمنوا بقلوبهم ولم يهاجروا، فأخرجهم كُفّار مكة مُكْرَهِين إلى (بدر) فقُتِلُوا هنالك؛ فنزلت فيهم هذه الآية. قال القاضي أبو محمد: وإنما اشتبهت عليه بالآية الأخرى التي نزلت في أولئك باتفاقٍ من العلماء».
Ia berkata bahwa makna lahiriah dari ayat ini menunjukkan keumuman untuk semua orang kafir. Namun Ikrimah mengatakan bahwa ayat ini turun untuk sekelompok orang Mekah yang beriman dalam hati mereka, tetapi tidak hijrah. Kemudian mereka dipaksa oleh kaum kafir Mekah untuk ikut serta ke Perang Badar, lalu terbunuh di sana. Maka turunlah ayat ini tentang mereka. Al-Qadhi Abu Muhammad berkata: “Ia tertukar dengan ayat lain yang menurut kesepakatan para ulama memang turun untuk orang-orang tersebut.” 1
فقد بَيَّن ابن عطية أنَّ قول عكرمة ينطبق على الآية الواردة في سورة النساء؛ وهي قوله تعالى
Ibnu ‘Athiyyah menjelaskan bahwa pendapat Ikrimah sebenarnya cocok dengan ayat dalam Surah an-Nisā’, yaitu:
﴿إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا﴾ [سورة النساء: ٩٧]
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan menzalimi diri mereka sendiri, (para malaikat) berkata: Dalam keadaan bagaimana kamu ini? Mereka menjawab: Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). Para malaikat berkata: Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di dalamnya? Maka tempat tinggal mereka adalah neraka Jahannam. Dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Surah an-Nisā’ ayat 97)
وأنَّ إيراده في آية سورة النحل إنما هو بسبب التشابه المتحقّق بين ألفاظ الآيتين.
Dan bahwa penyebutan (riwayat itu) pada ayat dalam Surah an-Nahl semata-mata disebabkan oleh kemiripan lafaz antara kedua ayat tersebut.
ومن ذلك أيضًا: ما ذكره ابن عطية في تفسير قوله تعالى:
Contoh lain juga disebutkan Ibnu ‘Athiyyah saat menafsirkan firman Allah:
﴿وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا﴾ [سورة الفرقان: ٢٧]
“Dan (ingatlah) hari ketika orang yang zalim menggigit kedua tangannya seraya berkata: ‘Aduhai, kiranya dulu aku mengambil jalan bersama Rasul.’” (Surah al-Furqan ayat 27)
قال: «وقال ابن عباس وجماعة من المفسرين: ﴿الظَّالِمُ﴾ في هذه الآية (عُقْبَةُ بنُ أَبِي مُعَيْط)، وذلك أنه كان أسلَمَ أو جنَحَ إلى الإسلام، وكان أُبَـيُّ بنُ خَلَف الذي قتله رسول الله -صلى الله عليه وسلم- بيدِه يوم أُحُد خليلًا لـ(عقبة)، فنَهَاه عن الإسلام، فقَبِلَ نَـهْيَهُ، فنزلت الآية فيهما. فـ﴿الظَّالِمُ﴾ عُقبة، و﴿فُلانًا﴾ أُبَـيّ،
Ia berkata: “Ibnu ‘Abbas dan sekelompok mufassir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan الظَّالِمُ dalam ayat ini adalah ‘Uqbah bin Abi Mu‘ayṭ. Hal itu karena ia pernah masuk Islam atau condong kepada Islam, dan Ubay bin Khalaf—yang dibunuh oleh Rasulullah ﷺ dengan tangannya sendiri pada hari Perang Uhud—adalah sahabat dekat ‘Uqbah. Ubay melarangnya memeluk Islam, lalu ‘Uqbah menerima larangan itu. Maka turunlah ayat ini tentang keduanya. Maka الظَّالِمُ adalah ‘Uqbah, dan فُلانًا adalah Ubay.
وفي بعض الروايات عن ابن عباس أنَّ ﴿الظَّالِمُ﴾ أُبَـيّ؛ فإنه كان يَحضُرُ النبيَّ -صلى الله عليه وسلم- فنَهَاه عُقبَةُ فأطاعَه. قال الفقيه الإمام القاضي: ومَن أدخلَ في هذه الآية أُميّةَ بنَ خَلَف فقد وَهِمَ».
Dalam sebagian riwayat dari Ibnu ‘Abbas disebutkan bahwa الظَّالِمُ adalah Ubay, karena dialah yang dahulu menghadiri Nabi ﷺ lalu dicegah oleh ‘Uqbah, dan ia pun menurutinya.” Al-Faqih al-Imam al-Qadhi berkata: “Barang siapa yang memasukkan Umayyah bin Khalaf ke dalam ayat ini, sungguh ia telah keliru.”2
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Baca lebih nyaman dengan aplikasi rezandroid. Download versi terbaru di Google Play Store : https://play.google.com/store/apps/details?id=com.rezaervani.rezandroid
Leave a Reply